Monday, 6 April 2015
Prinsip-prinsip Pemilihan Media
Salah satu kompetensi guru adalah kepiawaiaan memilih media pembelajaran yang digunakan. Tentu tidak semua media yang dimiliki tersebut cocok digunakan dalam proses pembelajaran. Agar paradigma “Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM)” diimplentasikan, guru harus memilih media pembelajaran yang paling efektif dan efisien untuk kegiatan pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang akan dicapai. Dalam memilih media pembelajaran, guru harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut.
1. Karakteristik peserta didik
Dalam konteks ini, titik fokus pembicaraan kita adalah pada taraf perkembangan intelektual peserta didik. Jika mengikuti tahapan perkembangan intelektual menurut Piaget, peserta didik usia SMP berada dalam tahap peralihan dari perkembangan operasional konkrit menuju perkembangan operasional formal. Sedangkan penelitian di salah satu SMP swasta favorit di Jawa Timur, ternyata hanya 15% yang benar-benar berada pada fase operasional formal (Nur, 2009). Selebihnya berada pada fase konkrit, peralihan, dan formal awal.
Peserta didik yang berada pada fase operasional konkrit bukan berarti tidak bisa berpikir tingkat tinggi (seperti menganalisis, memecahkan masalah, dan penalaran lainnya). Mereka bisa melakukan hal tersebut, asalkan untuk hal-hal yang berada di sekitar peserta didik dan dapat mereka bayangkan. Jadi, jika dikaitkan dengan media (dan kerucut pengalaman), maka situasi sebenarnya dan media benda-benda nyata tampaknya cenderung cocok untuk peserta didik SMP.
2. Tingkat keabstrakan media
Ahli psikologi Bruner (dalam Nur, 2001) mengemukakan bahwa pengajaran seharusnya dimulai dari pengalaman langsung (enactive) menuju representasi ikonik (seperti penggunaan gambar dan film), dan baru kemudian menuju representasi simbolik (seperti penggunaan kata-kata atau persamaan-persamaan matematis). Bruner lebih jauh menyatakan bahwa urutan bagaimana peserta didik menerima materi ajar memiliki pengaruh langsung pada pencapaian ketuntasan belajar tersebut. Pada saat suatu tugas belajar disajikan pada peserta didik yang tidak memiliki pengalaman yang relevan dengan tugas itu, pembelajaran akan dipermudah bila pengajaran mengikuti suatu urutan dari pengalaman konkrit menuju representasi ikonik kemudian menuju representasi abstrak.
Dalam salah satu buku teks tentang penggunaan audiovisual, Hoban, Hoban, dan Zissman (dalam Nur, 2000) menyatakan bahwa nilai materi ajar merupakan fungsi dari tingkat kekonkritannya. Dalam konteks media pembelajaran, pernyataan ini berarti: semakin konkrit media pembelajaran yang digunakan guru, maka media pembelajaran tersebut semakin bermakna bagi peserta didik.
Dale (1969) pernah mengembangkan “kerucut pengalaman” yang sampai sekarang masih relevan untuk dirujuk. Kerucut pengalaman itu dimulai dari peserta didik sebagai pelaku dalam pengalaman sesungguhnya, menuju peserta didik sebagai pengamat atas suatu kejadian tak langsung (melalui media), dan akhirnya peserta didik mengamati simbol-simbol yang mewakili kejadian itu. Beliau juga menyatakan bahwa peserta didik dapat mengambil manfaat dari kegiatan yang lebih abstrak, asalkan mereka telah membangun sejumlah pengalaman lebih konkrit untuk memaknai penyajian realitas yang lebih abstrak tersebut.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment